Thursday, February 25, 2010

Cerita Miring Dokter Indonesia di Time

Jakarta, Orang Indonesia tentunya sudah hapal sistem kesehatan di Indonesia yang masih jauh dari maksimal. Tapi kalau cerita miring soal kredibitas dokter Indonesia sampai diulas secara internasional tentunya harus menjadi perhatian khusus.

Situs majalah Time edisi 17 Februari 2010 memaparkan sebuah esai panjang tentang bagaimana memprihatinkannya kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia. Tulisan tersebut ditulis wartawan Jason Tedjasukmana, yang menjadi koresponden untuk Time Asia.

Intinya si jurnalis ingin menceritakan minusnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Berkaca dari pengalaman pribadinya yang menderita sakit mata. Di saat tak ada satu dokter Indonesia pun yang bisa mendiagnosis penyakitnya, dokter Amerika bisa mengetahuinya hanya dalam 5 menit.

Seperti dikutip dari Time, Selasa (23/2/2010), Jason menceritakan kisahnya.

Saya tidak pernah menduga akan menceritakan sistem kesehatan di Indonesia yang buruk. Meski saya merasa ragu dengan prosedur kesehatan di negara yang sudah saya tempati sejak tahun 1994 ini, tapi saya cukup percaya dengan dokter-dokter lokal di Indonesia. Tapi ternyata saya salah.

Pada April 2009, mata kanan saya mulai gatal dan memerah. Penglihatan saya mulai kabur tapi saya tidak tahu apa yang terjadi dengan mata saya. Akhirnya saya menemui dokter dan disarankan untuk menemui spesialis karena masalahnya diperkirakan ada pada kornea.

Saya pun mengikuti sarannya, tapi setelah berkeliling dan menemui banyak dokter spesialis mata di Jakarta, keadaan mata saya justru semakin memburuk. Seminggu kemudian, saya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan mencari pengobatan di luar, tapi ternyata sudah terlambat.

Kondisi kornea saya sudah terlanjur rusak. Dokter di Singapura tempat saya berkunjung dan juga hampir kebanyakan orang Indonesia yang ingin berobat menyarankan agar dilakukan transplantasi kornea jika teknik lainnya gagal. Akhirnya saya memutuskan pergi ke Amerika untuk mencari jalan lain.

Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia menurut saya jauh dari memadai. Hal tersebut diakui pula oleh mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr Kartono Mohammad. "Kita tidak punya sistem kesehatan. Tidak ada kontrol terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Indoensia," ujar Dr Kartono.

Untuk tahun 2010, menteri kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih telah mengalokasikan dana sebesar 2,2 miliar dolar AS atau Rp 22 triliun untuk anggaran kesehatan, tapi angka itu dianggap masih kurang dan seharusnya sebesar 110 miliar miliar dolar (Rp 110 triliun). "Tentu saja itu masih belum cukup, tapi sistem pelayanan kesehatan sudah termasuk di dalamnya," tutur Endang.

Tentu saja tidak mengejutkan jika ratusan warga Indonesia meninggal tiap tahunnya akibat tuberculosis, malaria, demam berdarah dan penyakit lainnya. Tapi yang membuat saya bingung adalah bagaimana sebuah penyakit mata yang saya alami tidak terdiagnosa oleh satu pun dokter, padahal penyakit itu bisa memicu kebutaan.

Saya terpaksa pergi ke Amerika karena enam dokter di Indonesia sudah tidak bisa menjelaskan penyakit tersebut. Berbeda dengan dokter Indonesia, seorang dokter di Michigan langsung bisa mendiagnosis masalah dalam 5 menit.

"Anda terkena penyakit vernal conjunctivitis. Jika dokter di sana melihat dan memeriksa bagian di bawah kelopak mata Anda, penyakit ini sebenarnya bisa langsung ketahuan," ujar dokter Michigan yang memeriksa Jason.

Menurut saya, sebenarnya para dokter di Indonesia sudah memeriksa bagian tersebut. Tapi tidak ada satu dokter pun yang menyadarinya dan melewatkannya begitu saja. Dokter di Jakarta hanya memberi steroid untuk mengurangi pembengkakan. --> salah terjemahan .. liat dibawah versi aslinya

Dokter di Jakarta juga melakukan pembersihan mata dengan cara mengurangi lapisan mata. Harapannya yaitu agar tumbuh lapisan baru di atas lapisan yang rusak. Namun sakit yang dirasakan seperti ada keramik atau kaca yang ditusuk ke dalam mata saya.

Sebenarnya saya ingin menggugat dokter tersebut tapi Dr Kartono dan pakar kesehatan lainnya mengatakan bahwa kemungkinan memenangkan kasus malpraktik di Indonesia sangatlah kecil bahkan penggugat bisa jadi harus membayar kerugian yang lebih besar.

Setelah 9 bulan mengeluarkan ribuan dolar dan menjalani prosedur pengobatan di Amerika, 50 persen penglihatan saya sudah kembali normal. Meski saya masih merasa pusing dan tidak nyaman dengan ketidakseimbangan penglihatan kiri dan kanan, tapi saya optimistis mata saya akan kembali normal.

Saya sangat beruntung karena bisa mencari pengobatan di luar, tapi bagaimana dengan mereka yang tidak mampu dan tidak tahu harus berobat kemana? Semakin saya bertanya pada dokter-dokter di Jakarta, semakin banyak kekhawatiran dan cerita horor yang timbul.

Kasus Prita Mulyasari yang berani mengkritik sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah satu contoh bahwa ada yang salah dengan sistem kesehatan di Indonesia. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan setelah ini, tapi saya menyarankan agar Prita punya keberanian untuk menantang sistem yang sudah banyak mengorbankan orang banyak


Versi asli pernyataan Jason Tedjakusuma :
I never thought I would let the grim stories I'd heard about Indonesia's health care system turn me into one of those expats who left the country at the slightest hint of a sore throat. I may have been skeptical of undergoing any major procedure in the country where I've been living since 1994, but I was pretty confident local doctors could handle a run-of-the-mill condition like vernal conjunctivitis. I was wrong.

In April 2009, my right eye started to itch and turned red. My vision turned blurry, and I couldn't figure out why I was losing sight in that eye, so I went to see a general practitioner, who suggested I see a specialist as it looked as though the problem might be in the cornea. I followed his advice, and after enduring a merry-go-round of eye doctors in Jakarta, my eye continued to get worse. Weeks later, I decided to leave the country to seek treatment, but by then it was too late. The condition had already damaged my cornea. Doctors in Singapore, where many Indonesians go in search of better care, suggested a number of treatments, including a corneal transplant if the others failed to restore my sight. I opted for another opinion back in the U.S. (See the most common hospital mishaps.)

For me to say that Indonesia's health care system is inadequate is, well, far from adequate, so let me quote a former head of the Indonesian Doctors' Association. "We have no health system," Dr. Kartono Mohammad recently told a group of journalists. "There is no quality control." At a time when Indonesia is striving to reach the ranks of the BRIC countries, strong fundamentals and an economy set to grow around 5% this year have yet to boost the hopes of millions in need of basic, reliable health services. For 2010, the health ministry has been allocated $2.2 billion, which is a slight increase over last year but still half of what is generally spent by the defense department. Overall, spending on health comes in at less than 2% of the year's total fiscal expenditures estimated around $110 billion. "It's still not enough," admits Health Minister Endang Rahayu Sedyaningsih. "Of course it is not right yet, but a national health system is there."

That might come as a surprise to the hundreds of Indonesians that still die each year of tuberculosis, malaria, dengue fever and other treatable illnesses. As for myself, I wondered how something as treatable as vernal conjunctivitis, which generally afflicts allergy sufferers, could lead to blindness. I had to go back to the U.S. to find out what at least six doctors here couldn't decipher; a doctor in Michigan diagnosed my problem in five minutes. "You have a case of vernal conjunctivitis," the cornea specialist told me. "If your doctors over there had looked under your eyelid they would have caught it, or at least they should have." (See "The Year in Health 2009.")
Sumber : Kaskus

No comments:

Post a Comment